Setelah makan siang di Alas Daun, Purwokerto, Pak Pranoto bergegas menggeber gas menuju Purbalingga. Kesejukan khas Baturraden di lereng Gunung Slamet, mulai perlahan menguap. Mendung tak juga enyah. Tapi masih menyisakan ruang kosong bagi matahari, yang meneruskan sinarnya ke bumi. Terpencar-pencar, layaknya air yang mengucur dari lubang-lubang shower.
Karena hari sudah beranjak sore, kami hanya menyempatkan singgah cukup lama di dua tempat: Purbasari Pancuran Mas dan Desa Wisata Karangbanjar.
Dari pandangan saya, keduanya sepertinya tipikal: Sama-sama merupakan contoh kreativitas, inovasi dan buah kesuksesan. Yang menghidupkan perekonomian daerah.
Purbasari Pancuran Mas
Tak seperti wisata tematik lainnya di kota besar, yang berada di sisi jalan protokol yang sibuk. Tempat ini berbeda. Purbasari Pancuran Mas hanya berhadapan dengan persawahan. Yang di kejauhan tampak gugusan perbukitan. Ruas jalan beraspal yang tak terlalu lebar memisahkannya.
Di tepi jalan aspal itu, ada bukti sahih. Kebesaran yang berawal dari hobi dan kepedulian seorang Sarimun Budi Purwanto. Dimulai pembangunan secara bertahap pada 1993, ia mulai mengumpulkan ikan tawar dari yang kecil hingga besar.

Hobi dan kepeduliannya terhadap pendidikan pula berbuah hasil. Berkisar delapan tahun kemudian, Triyono Budi, Bupati Purbalingga saat itu, meresmikan Taman Wisata Purbasari Pancuran Mas. Ikan Arapaima gigas berukuran jumbo dari sungai Amazon, menjadi magnet taman wisata.
Waktu terus berjalan, zaman terus berkembang. Begitu pula perkembangan taman wisata. Water boom dan Istana Burung ikut ditambahkan.

Tak hanya sang raksasa dari Amazon, terdapat juga berbagai koleksi ikan macam belut listrik, palmas, patin, sinspilum, hingga ikan buntal. Piranha dan arwana juga ikut ‘meramaikan’ taman wisata.
Selain ikan, tentu istana burung menarik perhatian saya. Banyak alasan, burung menjadi inspirasi bagi saya yang suka bertualang. Saat tak sedang berada di dalam sangkar, tentu dengan kepak sayapnya membawanya berkeliling dunia.

Koleksinya cukup lengkap. Bagaikan parade burung dari berbagai belahan dunia. Mulai dari ayam pegar (pheasant) beraneka jenis dari Nepal, elang laut titipan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang gagah dan dilindungi, kakaktua tanimbar dari kepulauan Laut Banda, kasturi kepala hitam dari Papua, nuri san conure yang berwarna-warni, nuri bayan jantan dan betina. Cucak biru yang menawan, gelatik yang tersebar di Jawa, Bali, dan Kalimantan; kakaktua jambul kuning yang eksotis, kakaktua raja yang nampak berwibawa, macaw biru, hingga sang burung yang angkuh: merak.
Di sebuah sudut, di penghujung Istana Burung. Kami berhenti cukup lama. Mbak Reaca tampak menikmati membelai seekor kakaktua Maluku yang menggemaskan. Saya juga sempat ikut membelai kepalanya, sebelum saya cabut cepat karena hendak digigit oleh paruh hitamnya.

Setelah cukup puas dan gemas, kami meninggalkan Istana Burung. Belum jauh berjalan, terdengar suara burung berkicau keras.
Ngaaak… ngaaak… ngaaak…. Suara kicauan kakaktua Maluku itu bertalu-talu. Seakan menyayat hati, seolah tak rela ditinggalkan pergi dan kembali menyepi. Bersama kicauan burung-burung dalam sangkar lainnya. Saya tersenyum, berpikir ini adalah sebuah perpisahan yang cukup mengharukan.
Taman wisata semakin lengang, perlahan beranjak petang akan segera ditutup. Kembali beraktivitas menghibur pengunjung di keesokan harinya.
Desa Wisata Karangbanjar
Namun sebelum benar-benar petang menjelang, Pak Pranoto mengantar kami singgah di destinasi terakhir, sebelum meninggalkan Purbalingga.
“Dulu warga desa ini miskin. Namun, setelah berhasil menciptakan usaha rambut palsu, sekarang ya kaya-kaya,” tukas Pak Pranoto. Kala itu mobil sudah memasuki gang desa wisata yang tidak terlalu lebar.

Kami diajak singgah sejenak di rumah sekaligus tempat usaha milik Ketua RW I Desa Karangbanjar. Saat itu, sedang dilakukan kegiatan pengemasan.
Peruntukan rambut palsu tersebut, selain sebagai hiasan (wig) seperti namanya, juga sebagai aksesoris sanggul dan cemara yang merupakan perlengkapan berpakaian perempuan Jawa tradisional.

Hampir saya membeli dan membawa pulang seikat rambut palsu, yang akan membuat saya seperti seorang vokalis band rock. Ah, bayangkan. Dari rambut palsu, kini produk desa wisata tersebut mendunia. Namun tetap ada kesan sahaja di sana.
“Kapan-kapan kalau ke sini lagi, nginapnya di sini saja,” ujar sang ketua RW berkacamata itu. Tawaran yang menggiurkan. Tawaran yang sebenarnya membuat agak tak rela meninggalkan Purbalingga segera. Rasanya memang sangat singkat sekali kunjungan di sore itu.
Namun, rekan dan kegiatan di Banjarnegara sudah menunggu kami. Langit petang tetap kelabu, namun kami semakin melaju.
Foto sampul:
Purbasari Pancuran Mas, Purbalingga
Kalau aku ingat Purbalingga, kok ingat cewek-ceweknya yang cantik ya, mas? Kaburrr haaaa.
LikeLike
Hmmm, sekilas saya juga melihat sepintas di sana. Berarti kita sepaham 😀
LikeLike
😀
Mas, udah nonton Everest belum? ku jadi ingat kata-kata mas waktu di tulisan gunung Slamet tentang gunung heee. Pokoknya intinya naik gunung itu bukan masalah ingin populer dll, 😀
LikeLike
Sudah, baru saja dua hari lalu hahaha. Yap, pelajarannya bener banget. Kelihatan jelas kalau film hollywood benar-benar dibuat sedemikian serius dan tentu jauuuh di atas 5 cm 😀
LikeLike
Setuju, mas. heeee
LikeLike
eh beneran begitu? xixixi berarti harus dijadwalin main ke purbalingga dong~ #loh
LikeLike
Ah kebun binatang, aku selalu mau foto dengan binatangnya tapi selalu takut haha,,, foto sama ular saja keringat dingin…
Btw tiga waria itu biasanya mangkal di mana?
LikeLike
Hahaha, saya kadang juga agak geli-geli gimana gitu kalau lihat ular…
Caaaakkkk waria jare wkwkwkwk -_-
LikeLike
Penampilan kalian dengan rambut palsu sungguh menggoda :p
LikeLike
Hahahaha, kesengsem sama rambut palsunya. Berasa penyanyi rock 😀
LikeLike
Kalau itu jenggotnya palsu juga ga?
LikeLike
Kalau itu aali Mas 😀
LikeLike
Kalau diberdayakan desa bisa jadi pusat industri masyarakat ya Mas. Untung lah rambut palsu dibuat di sini. Coba bayangin kalau dibuat di pabrik, selain harganya lebih mahal, peluang rakyat untuk berkarya juga tertutup ya. Ngomong2 bahan rambut palsunya mereka datangkan dari mana, Mas?
LikeLike
Iya Bu, berkualitas ekspor pula. Itu bahannya sebagian besar dari sisa limbahnya tukang cukur rambut dan salon2 hehehe. Selain itu juga untuk sapu jugaa.
LikeLike
Wah keren banget itu Taman Wisata Purbasari Pancuran Mas nya, sampai ada semacam kolam yang mirip dengan di Sea World. Pengunjung bias berjalan di dalam terowongan yang menembus kolam nya ya?
Btw, sedikit koreksi Qy, untuk penulisan nama latin spesies, huruf pertama pada kata kedua seharusnya ditulis dengan huruf kecil, jadi yang tepat seharusnya: Arapaima gigas.
Nice post Qy 🙂
LikeLike
Iya Mas, semacam itu. Bagi orang Purbalingga, mungkin wahana demikian sudah luar biasa. Semoga bisa bertambah koleksinya 🙂
Ah iya, terima kasih banyak atas koreksinya Mas. Akan saya perbaiki segera 🙂
LikeLike
omg numpang nampang dan naik daun di blog papan atas wkwk
LikeLike
Hahaha, papan atas apaan Mbak. Ini cuma gubuk sederhana, jadi jangan keberatan yaa 🙂
Oiya, kalau mau ngasi komen di blognya Mbak gimana ya?
LikeLike
Ehkeren yaaa, ada aquarium di purbalingga 🙂
LikeLike
Iya Mas Cumi. Ada satu lagi theme park khusus reptil dan waterpark juga 🙂
LikeLike
Whoooaaa jalan-jalannya seruuuu.
Ditunggu sambungannya ^_^
LikeLike
Maturnuwun Mbak, Jateng berkesan sampai sekarang. Semoga berkenan menunggu yaa 🙂
LikeLike
Rambut palsunya kece hihi
LikeLike
Nah! 😀
LikeLike
Ikan piranha itu kalo lepas ke sungai lalu bernak pinak bisa menjadi bahaya serius. Semoga pemeliharaannya terjaga ketat.
Kakaktua Maluku emang cantik, makanya sering diseludupkan dengan cara yang kadang tidak binatangwi, hehe… Contoh penyeludupan yang tidak binatangwi, burung kakaktua dimasukkan botol plastik seukuran badannya.
LikeLike
Iya Mas, dari kecil soalnya sering lihat film piranha, menakutkan sekali hehe.
Nah baru tahu saya kalau ada contoh kasus penyelundupankakatua seperti itu. Semoga tetap terpelihara ya 🙂
LikeLike
koleksi akuarium air tawar dan taman burungnya mengingatkan suasana di taman mini
mungkin miniaturnya dari TMII ya …
LikeLike
Mungkin Mas. Saya belum pernah ke TMII seh hahaha
LikeLike
eh oot dikit. rambutnya mbaknya itu palsu juga kaaah? #kabuur
btw aku baru tau ada ikan seperti itu mas di purbasari. ntar kalo anak udah agak gede ajak kesana aaah
LikeLike
Sama2 rambut palau semua Mas hahaha.
Iya Mas. Edukatif loh 🙂
LikeLike
Wuih, koleksi ikan Arapaimanya banyak juga ya. Itu klo pas makan rusuh banget.
Habis ini menapak tilas masa kecilnya Pak Sudirman Qy?
LikeLike
Iya kah Mas? Kemarin ikannya renang-renang santai gitu hahaha.
Sayang sekali tidak sempat Mas. Moga banget bisa lain waktu 🙂
LikeLike
Wah, ternyata di Purbalingga ada taman wisata yang cukup menarik!
LikeLike
Iya Mas. Saya juga nggak menyangka ada tempat edukatif seperti ini di Purbalingga. So surprise 🙂
LikeLike
[…] saat ke Purbalingga, di sini kami kembali mendengar cerita kesuksesan. Penuturan Pak Fajar begitu sarat perjuangan. Ada […]
LikeLike
Bener-bener duta Jawa Tengah nih Rifqy. Semoga pemerintah sana tahu ya kalo ada blogger kece yang suka mempromosikan daerahnya *kasih jempol*
LikeLike
Loh Om, aku wong Jawa Timur hehehe. Iki anggap saja mewakili Bapak saya yang asli Jawa Tengah 😀
LikeLike
Masih sama-sama Indonesia ya Qy 😀
LikeLike
Iyadeh Om, tanggung jawab kita bersama 😀
LikeLike
[…] hari keempat saya di Jawa Tengah. Setelah sebelumnya berkelana ke Ungaran, Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Temanggung; kini saya masih melanjutkan perjalanan. Magelang, kota yang akan […]
LikeLike
[…] hari keempat saya di Jawa Tengah. Setelah sebelumnya berkelana ke Ungaran, Purwokerto, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, dan Temanggung; kini saya masih melanjutkan perjalanan. Magelang, kota yang akan […]
LikeLike