Saya pikir, tak perlu menunggu menjadi sepasang kekasih untuk merasakan rindu. Karenanya rindu itu bersifat universal. Dapat berlaku untuk apa saja. Termasuk rindu pada ketinggian (gunung).
Menuntaskan rindu pada gunung, berarti membicarakan kenangan-kenangan pendakian sebelumnya. Suka atau duka, tetap berujung rindu.
* * *
Masih sangat teringat jelas dalam ingatan. Hampir empat tahun yang lalu, pertengahan Oktober 2012, saya mencoba “peruntungan” yang pertama kalinya di dunia pendakian. Jelang usainya kegiatan akademik magang kerja semester VII di Pacitan (semacam KKN/PKL), saya dan sejumlah teman nekat ke Gunung Semeru selama empat hari. Nekat di sini dalam artian: belum punya pengalaman mendaki satu gunung pun, tiba-tiba langsung ke Gunung Semeru. Sudah begitu, persiapan hanya ala kadarnya.
Awamnya pengetahuan pendakian tecermin dalam proses pengemasan (packing). Kami tahu kalau air Ranu Kumbolo dapat langsung diminum, tapi kami malah menyiapkan enam botol air mineral 1,5 L (liter) per orang. Begitu sadar tas carrier kami yang hanya berkapasitas 60 L tak muat, dikurangi separuhnya. Tetap saja tak muat. Belum nugget kemasan dua bungkus, beras 5 kg, dan overdosis pakaian pribadi.
Di sektor fisik, persiapan kami juga sangat kurang. Saya hanya latihan jalan santai di pusat kota Pacitan sepanjang 5 km. Itu pun cuma sekali saja. Sisanya hanya sesekali push up dan sit up setiap bangun tidur, dan latihan mandi sehabis subuh. Efek sampingnya terasa saat hari pertama pendakian: perjalanan dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo memakan waktu 10 jam!
Berapa jam seharusnya waktu tempuh normal dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo? 4-6 jam…

Alhasil, fisik kami drop di hari kedua pendakian. Kalimati bahkan Mahameru tinggal impian. Dua malam berikutnya kami habiskan di Ranu Kumbolo. Konsumsi juga dihabiskan. Kala itu saya merenung, Semeru memberikan pelajaran kepada kami untuk tidak terlalu tergesa dan berambisi. Ranu Kumbolo menahan kami untuk tetap singgah dan belajar.
Sejak saat itu saya belajar jika gunung tak akan lari dikejar. Kecuali untuk ekspedisi, mendaki itu untuk menikmati. Dan pelajaran di Ranu Kumbolo tak membuat saya kapok mendaki gunung. Ibarat candu, lalu menjadi rindu. Karena rindu itu pula (juga karena waktu), saya berkesempatan mendaki sejumlah gunung yang lain di Pulau Jawa.
* * *
Terakhir saya mendaki gunung akhir Maret lalu, ke Gunung Welirang dan Arjuno lewat jalur Tretes, Pasuruan. Setelahnya, saya “mendaki gunung” yang lain. Sesuatu yang biasanya menjadi dramatis di pengujung semester akhir. Maksud saya, benar-benar semester akhir. Sebenar-benarnya semester akhir strata satu.
Selama itu, saya rindu berat. Rindu pada bertualang sendirian ke suatu daerah. Tapi utamanya termasuk rindu pada ketinggian. Rindu pendakian-pendakian gunung. Rindu berjalan menyasak semak-semak basah. Rindu menyusuri jalan setapak di tengah hutan tropis. Rindu berpegangan ranting pepohonan di tengah tanjakan. Rindu krik-kriknya jangkrik.
Seperti yang saya bilang di awal. Menuntaskan rindu pada ketinggian itu berarti membicarakan kenangan-kenangan pendakian. Saya bagaikan merindukan seseorang yang mungkin berada di bulan, sedangkan saya hanyalah seekor pungguk di pepohonan.
Ketika asap-asap polusi udara terlalu sering dihirup.
Saya merindukan terbangun dari tidur dengan kesegaran dan dingin khas pegunungan. Disambut kabut dan matahari terbit dari balik cakrawala. Tersedia kopi hangat dan roti bakar yang menghangatkan. Saya jadi mendambakan berumah di perbukitan, sehingga dapat melihat matahari terbit setiap harinya.
Ketika rutinitas menjadi terlalu menjemukan.
Saya teringat Seno Gumira Ajidarma: “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” Saya pun mungkin kelak akan merasakan kehidupan seperti itu. Saya harus menyiapkan diri, agar tetap menjadi muda dan tua yang penuh kenangan menyenangkan.

Karena itu saya ke gunung. Mengganti keletihan-keletihan pekerjaan dengan keletihan-keletihan yang terbelai sejuknya rimba.
Ketika merasa berada pada titik jenuh. Saya harus membuat diri berteriak, ‘Aku harus terlahir kembali!’ Karena itu saya (harus) ke gunung. Karena itulah suasana di ketinggian begitu dirindukan.
Tapi, serindu-rindunya pada gunung tetap harus diiringi perencanaan dan persiapan yang matang. Fisik tetap menjadi yang utama. Karena betapa pun dirindukan, gunung tetaplah gunung. Ia tetap menyimpan bilah antara pesona keindahan dan marabahaya.
Tak kalah penting adalah menata mental sebagai tamu yang baik. Gunung adalah rumah terbuka yang memiliki penjaga. Mendaki gunung itu selayaknya pergi bertamu ke rumah orang. Kita datang dan pulang, mengucap salam dan permisi. Tamu yang baik akan meninggalkan kesan yang baik, begitu pun sebaliknya.
Jadi, bagi yang rindu pada ketinggian (gunung), siapkah untuk menuntaskannya dengan cara yang baik? Atau, mungkin ingin segera menciptakan rindu pada ketinggian untuk kali pertama dengan sengaja?
* * *

Saya dan tiga orang teman baru saja turun gunung sekitar sepekan yang lalu. Tiga hari dua malam perjalanan pulang-pergi. Selain cuaca cerah, serbuan tikus gunung di tempat berkemah menjadi pemanis di malam pertama.
Akan saya ceritakan nanti, pendakian Gunung Butak (Siti Ingghil) yang menjawab kerinduan kami. (*)
Foto sampul:
Refleksi Pegunungan Putri Tidur berlatar senja di suatu pedesaan di pinggiran kota Malang
Rindu kepada gunung atau ketinggian seperti ini pasti seperti rindu saya ke tempat-tempat wisata yang pernah didatangi. Dan saya tahu bagaimana sakit dan manisnya yang bercampur jadi satu. Ingin mengulang semua kenangan manis yang pernah terjadi di tempat tersebut. Keren Mas Rifqy 🙂
LikeLike
Iya Bu, merindu berarti mengenang suka dukanya perjalanan. Ingin sekali mengulang dan mengharapkan cerita yang berbeda. Terima kasih, Bu 🙂
LikeLike
sadis. apik e mas. mbok aku diajak pisan munggah gunung toh. yo rene ke jogja. ajak daku naik gunung mas. biar bisa seromantis dirimu dalam menulis gunung. haha. weh, aku pinjem quote e seno gumiro yaa
LikeLike
Ayo Mas hehehe, Merbabu mungkin? Hehehe. Ah, romantis itu cuma bonus Mas hahaha. Mengalir saja, kayak air 🙂
Iya Mas, monggo 😀
LikeLike
Ibarat candu, lalu menjadi rindu (Rifqy, 2016)
Eaaaaa.. eaaaaa…
LikeLike
Takdes! Takdes! 😀
LikeLike
Saat ini, kaki saya pun sudah merindu gunung. Sangat. Amat. Sekali.
LikeLike
Hai, Mbak Igna. Berangkatlah menjawab rindu! 😀
LikeLike
Takkan lari gunung di kejar.. Mudah2an di atas gunung ketemu kekasih hati..
Orang gunung rata2 romantis ya? Hihi
LikeLike
Hmmm, ah mungkin itu tampak sampul saja hahaha. Sejatinya senang guyon dan kadang absurd loh Mas 😀
LikeLike
memang benar orang yang suka mendaki gunung selalu merindukan untuk mendaki lagi , terus dan terus
LikeLike
Iya betul sekali. Terus dan terus, sampai ada sesuatu yang menghentikannya…
LikeLike
Jiwa seperti terisi ketika melihat hijaunya pepohonan yang rimbun di pegunungan.
Rindu rutinitas yang tlah lalu, sayapun begitu.
LikeLike
iya Mbak e, tos dulu yaa…
LikeLike
Sepertinya niat tak hanya mendaki gunung, tapi menyusuri panjangnya garis pantai di Timur juga dirindukan toh mas? hehehhhee
LikeLike
Mungkin ada tulisan lain, ketika timur dirindukan hehehehe 😀
LikeLike
Saya belum pernah merasakan mendaki gunung selain Gunungkidul. Itu saja make motor hahaha.. Saya cenderung alergi dingin, jadi lebih memilih mantai atau yang lain..
LikeLike
Hahaha, tidak sekalian Gunung Sari Intan toko elektronik? Atau bus Gunung Harta? 😀
Tak mengapa, Om. Setiap orang punya pilihan, setiap pilihan punya pemangkunya 🙂
LikeLike
Alam selalu bikin rindu..
entah gunung, hutan, pantai ataupun laut.
LikeLike
Karena dari alam, kita bisa belajar kekuasaan Tuhan. Alam jadi obat yang mujarab 🙂
LikeLike
wah, saya suka sekali tulisanmu ini, mas.
mengingatkan saya pada gunung yang pertama kali saya daki juga Semeru, tahun 2013 silam.
tapi, saya mendaki dengan abang saya yang jagoan (dan agak kurang ajar hahaha), dari Ranu Pane ke Ranu Kumbolo hujan di sepanjang jalan, saya ditinggal jalan sendiri karena dianggap perjalanan itu gampang. alhamdulillah, kalau jalan saya kuat dan 4 jam saja sampai. padahal, karena cuma berdua, bawaan jadi berat karena cuma dibagi berdua. pengalaman yang tak terlupakan, dan sejak itu abang saya selalu mengajak kalau mau naik gunung. 🙂
LikeLike
Terima kasih apresiasinya Mbak Yuki.
Hahaha, sabar ya Mbak wkwkwkwk. Tapi begitulah cerita yang selalu ada, dikenang karena gunung. Setidaknya bisa olahraga 🙂
LikeLike
Lanscapenya bagus banget ya ampunnn
LikeLike
Terima kasih Kang 🙂
LikeLike
Ketika Gunung Dirindukan sudah diobati kemarin sama pendakian di Gunung butak mas? ditunggu tulisannya :), semoga rambunya enggak ikut-ikut butak yaa karena fokus sama skripsinya kemarin dan akhirnyaa sudah kelar.. selamat!
Jadi kan kalau mau menuntaskan rindu kepada gunung-gunung udah plong yaaa…
Eh foto-foto jepretanmu ki emang mas Rifqy banget e mas, kaya udah punya ciri khas
LikeLike
Tunggu ya tulisan tentang Butak 🙂
Alhamdulillah, rambut saya profesional, gak terpengaruh skripsi 😀
Ah, masak sih Mbak? 😀
LikeLike
selalu terhanyut dengan tulisan2mu mas hehehe
saya setuju,di gunung pun selalu banyak cerita ya mas entah suka ataupun duka 🙂
LikeLike
Terima kasih Mas, hehe. Iya Mas, latihan mensyukuri dalam keadaan apa pun 🙂
LikeLike
Ibarat candu, lalu menjadi rindu (Rifqy, 2016)
Kalau saya sih kebalikannya, bermula dari rindu lantas menjadi candu hihihi.
Saya juga lagi kangen banget naik gunung yang benar-benar gunung. Maksudnya gunung tinggi yang lebih dari 2000mdpl. Tapi sepertinya harus bersabar. Ada anak bayik yang belum bisa ditinggal. Membawanya muncak juga masih terlalu beresiko, saya tak boleh egois.
Dengan membaca catatan seperti ini sedikit menuntaskan kerinduan pada tempat tinggi. Matur suksma, mas.
LikeLike
Hihi, berarti: bermula dari rindu lantas menjadi candu (Elisabeth Murni, 2016) 😀
Ah iya Mbak, nanti akan ada waktunya. Saya pun kelak juga kepengen kayak gitu Mbak, mengenalkan anak pada alam dan belajar padanya.
Siap Mbak, syukurlah jika begitu. Suksma mewali, Mbak 🙂
LikeLike
Bahasanya apik tenan iki. Aku langsung minder, udah lama gak bikin postingan agak ‘serius’. Meski tetap pakai bahasa pakem dan EYD, rasa-rasanya sampai sekarang aku lebih suka tulisan yang seperti ini.
Paling suka dengan bagian ini:
“Kecuali untuk ekspedisi, mendaki itu untuk menikmati. Dan pelajaran di Ranu Kumbolo tak membuat saya kapok mendaki gunung. Ibarat candu, lalu menjadi rindu. Karena rindu itu pula (juga karena waktu), saya berkesempatan mendaki sejumlah gunung yang lain di Pulau Jawa.”
*malam minggu jadwalnya belajar menulis serius lagi.titik* 😥
LikeLike
Tidak usah minder, Mas Adie. Kita akan berkembang dengan sama-sama belajar. Masing-masing dari kita memiliki kenyamanan masing-masing dalam suatu hal. Saya pun akan berusaha tidak boleh berhenti belajar menulis, khususnya sesuai EYD hehe.
Terima kasih apresiasinya, Mas Adie. Jadi kepengen mendaki bareng Mas Adie, atau setidaknya belajar lari secara istiqomah 😀
LikeLike
Pengalaman pertama memang akan selalu manis untuk dikenang walaupun pengalaman tadi berisi kesedihan atau pun kekecewaan. Apalagi pengalaman pertama mendaki gunung, saya pun selalu tersenyum bangga dengan diri sendiri kala mengingat jika seorang “saya” bisa nekat untuk pertama kalinya mendaki gunung. Sama seperti mas, saya juga mempersiapkan segala sesuatunya ala kadarnya, bahkan barang-barang yang kurang penting malah membuat berat ransel makin bertambah saja. Tapi bagaimanapun, pengalaman memang tidak akan pernah bisa terganti dengan sekedar baju baru atau sepatu baru, pengalaman memberikan pelajaran berharga dan bisa dikenang terus diceritakan anak cucu kelak hehehe.
LikeLike
Terima kasih atas komentarnya yang kontemplatif Mas. Saya setuju, pengalaman kita yang lalu dan kini akan jadi cerita berharga untuk diceritakan ke anak cucu, agar tak bergantung pada dunia gadget 🙂
LikeLike
aku rindu gunung, tapi gunung mana yang tidak sepi sekarang?
LikeLike
Untuk beberapa gunung, iya Mas. Kini kembali pada ‘kreativitas’ kita, untuk mencari sudut-sudut sepi dan ketenangan dari setiap pendakian. Saya yakin, sudut-sudut sepi dan damai itu masih ada untuk menjawab kerinduan pada gunung 🙂
LikeLike
Bisa syahdu gini ya catatan mendakinya, biasanya bacaan catatan perjalanan saya kurang suka, tapi romantis eh yang inii
LikeLike
Aduh, jadi sungkan dibaca anak sastra hehehe. Ini sebenarnya bukan catatan perjalanan, tapi semacam tulisan pengantar sebelum saya menuliskan cerita perjalanan. Semoga dapat sesuai dengan ekspektasi.
Ah, kau ini memang suka yang romantis-romantis #eh
LikeLike
Dulu waktu SMA hobi banget naik gunung sampe bolos sekolah 😀
sekarang pingin sih, tapi sudah ga sanggup lagi. Perlu rutin olahraga dulu, hehehe
LikeLike
Saya baru kenal mendaki gunung juga waktu setelah kuliah Om hehe. Tapi kan masih sanggup wira-wiri Krakatau gitu hehehe, mungkin kapan-kapan bisan nanjak bareng hehehe 😀
LikeLike
nafasku tersengal-sengal katika trekking…padahal aku pengen naik gunung..huhuh
LikeLike
Fisik bisa dilatih kok, Mbak. Minimal jogging, atau renang 🙂
LikeLike
Tulisanmu selalu menyajikan sisi romantisme sebuah perjalanan baik sisi menyenangkan maupun tidak. Memang ya terkadang rindu menghampiri ketika memori perjalanan lama tetiba muncul :’)
LikeLike
Iya Mbak, paling sering munculnya ketika merasa cukup jenuh dengan rutinitas pekerjaan/kuliah 🙂
LikeLike
Keren foto-fotonya mas. Salam kenal ya. Salam Tarvel Blogger!
LikeLike
Salam kenal, Mas, terima kasih sudah sudi berkunjung 🙂
LikeLike
Pemandangannya cantik banget ya ki, pantas saja dikaw merindu selalu 🙂
LikeLike
Iya Mbak, betul sekali 🙂
LikeLike
Rindu yg hanya bisa dituntaskan dengan bertemu. Eeaaa. Saya suka tulisan-tulisan kyk gini. 🙂
LikeLike
Terima kasih Mas Arie 🙂
LikeLike
“Rindu pada bertualang sendirian ke suatu daerah”.
Aku pun rindu akan petualangan sendirian, Rindu berkenalan dengan orang – orang baru dalam setiap perjalanan, dan rindu akan ketinggian yang dulu “kugemari”.
LikeLike
Jadi, kapankah Mbak Raisa menuntaskan rindu itu? Hehehe.
LikeLike
gunung memang memiliki romantisme tersendiri, selalu menghadirkan rasa rindu untuk kembali bergumul menikmati alam dan merasakan kedamaian
aku kapok kemarin naik ke Batur tanpa persiapan, tapi masih penasaran ingin kembali lagi untuk menuntaskan rasa penasaran, walau entah kapan 🙂
LikeLike
Luar Biasa Pecah Telurnya. Dari banyaknya koment di sini saya percaya tulisanmu dirindukan dengan bahasa roman tapi bukan picisan. Seperti es teh, disukai segala golongan 🙂
LikeLike
Terima kasih Kak Pena Biru, doakan kita sama-sama melakukan yang terbaik sesuai kemampuan kita masing-masing ya 🙂
LikeLike
Aaamin saling support 😀
LikeLike
Terakhir mendaki bulan April. ternyata sudah cukup lama. dan sudah mulai rindu dengan aroma tanah basah di jalur pendakian. btw, salam kenal mas Rifqy. kapan-kapan boleh saya diajak naik bareng 🙂
LikeLike
Salam kenal Mas Aliko, kita sama-sama rindu pendakian. Semoga waktunya pas ya 🙂
LikeLike
aku pertama dan terakhir (untuk saat ini) naik gunung itu Lawu via Cemoro Kandang. habis iku gak tau maneh. maklum sibuk ngerjakno skripsi *eh
LikeLike
Ayo munggah gunung neh lan 😀
LikeLiked by 1 person
ayoookk ndek sekitar sekitar malang ae rifqy, sing gak usah dhuwur dhuwur dan gak mangan duit akeh wkwkwkw
LikeLike
Hahahaha, Bromo? wkwkwkwkwk
LikeLike
wahahaa bromo mahaaalll 😦
LikeLike
Trekking ae seharian, bisa murah banget kok 🙂
LikeLike
Pingback: Foto Cerita: Gunung Butak dan Tamu Yang Merindu | Papan Pelangi
keren mas, belum kesampaian ke semeru, baru gunung jateng doang. InshaAllah tahun ini kl ada rejeki mau kesana hehe. Ijin pinjam paragraf pertamannya mas buat caption di instagram 😀
LikeLiked by 1 person
Wah, kalau begitu bisa minta tolong ngeguide in ke gunung-gunung di jateng nih hehehe. Semeru masih tutup sampai April, biasanya Mei buka kalau cuaca sudah bersahabat. Oke mas, silakan 🙂
LikeLike