Saya terbangun. Memicingkan mata, mengintip di celah-celah dinding kayu rumah. Kampung ini sudah bergeliat. Suara ayam berkokok, kambing mengembik, dan sayup-sayup suara orang bersahutan. Sudah pagi.
Embusan angin yang memasuki rumah membuat saya merapatkan selimut. Namun, keinginan melanjutkan tidur urung karena terdengar derap kaki menapaki tangga.
Pintu rumah panggung ini rupanya tidak dikunci. Sesosok perempuan membukanya dan masuk. Ternyata Suhar, istrinya Irfan. “Maaf, Mas. Bapak mendadak antar tamu dari Jakarta ke Kenawa. Baru saja,” katanya tersenyum.
“Oh, iya, Bu. Kalau begitu saya jalan-jalan ke dermaga saja dulu,” jawab saya. “Oh, ayo saya antar ke dermaga,” ia menawarkan, kemudian kembali ke luar.
Segera saya rapikan selimut, lalu menyiapkan kamera dan tripod. Tanpa cuci muka, saya langsung ke luar dan menutup pintu. Suhar menunggu di bawah rumah.
Saya mengikuti Suhar ke tepi dermaga kampung yang terletak di ujung barat Pulau Sumbawa ini. Tak sampai semenit berjalan kaki.
Setibanya di dermaga kayu, Suhar menunjuk ke arah pulau kecil di tengah Selat Alas. Agak tertutup kapal feri. “Itu Kenawa,” katanya. Saya juga memandang beberapa pulau di sekitarnya yang saya belum tahu namanya. “Saya balik dulu ke rumah, ya, Mas,” kata Suhar tersenyum.

Suhar meninggalkan saya sendirian. Tampaknya ia membiarkan saya menikmati indahnya pagi dari tepi dermaga. Suasana yang jarang saya lihat setiap hari di kota, yang sebenarnya biasa saja bagi warga di sini.
Munculnya matahari di atas cakrawala menandakan hari yang cerah. Laut beriak tenang. Perahu-perahu tertambat di tanggul setinggi dua orang dewasa. Sejumlah warga tampak sibuk dengan perahu mereka. Mengelap hingga mengecek mesinnya.
Sementara itu di arah barat, terlihat beberapa kapal feri datang dan pergi. Sepertinya akan menjadi pengalaman menakjubkan jika tiba di Pelabuhan Poto Tano disambut matahari terbit. Dan tak lupa pemandangan bukit-bukit kecokelatan karena kemarau di bulan Agustus.
Di tengah asyiknya memotret, saya melihat sebuah sampan bermesin satu mendekati dermaga. Di atasnya berdiri seorang laki-laki bertopi merah dengan jaket abu-abu. Rupanya Irfan, dan satu anak kecil berkaus lengan panjang yang ikut dengannya. Anak sekecil itu tidak memakai jaket saat diajak berlayar subuh tadi.
Mesin perahu dimatikan. Dengan gesit, Irfan menambatkan sampannya dengan tali ke patok kayu di bawah tanggul. Semua berlangsung begitu cepat, hingga kemudian tahu-tahu mereka berdua sudah berdiri di dermaga. “Dari Kenawa, Pak?” tanya saya.
“Tadi subuh saya mendadak ditelepon. Dua orang dari Jakarta, Mas, minta diantar ke Kenawa. Lagi bulan madu katanya,” Irfan menjawab lengkap pertanyaan saya. Ia menambahkan, “nanti saya antar mas ke Kenawa, sekalian jemput mereka buat keliling pulau dan mandu snorkeling.”
Saya hanya mengangguk saja, kemudian tertarik dengan anak kecil yang selalu menggenggam erat tangan lelaki bercelana pendek putih itu. Saya berjongkok, lalu memegang tangan kirinya yang mungil, “Namanya siapa?” Tentu saja hanya dibalas dengan tatapan polos dan diam terpaku.
“Ini anak pertama saya. Namanya Irfan,” katanya. Tiba-tiba saya memandang sang ayah dengan dahi berkerut. Seakan memahami kebingungan saya, ia buru-buru menjelaskan, “Nama asli saya Saleh. Orang sini biasa menyebut nama bapaknya dengan nama anak laki-laki sulungnya.” Senyumnya menyeringai, memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Saya hanya membuka mulut lebar-lebar. Semacam ingin mengucap “oh begitu” tapi tertahan di tenggorokan.
“Ayo ke rumah, kita ngopi-ngopi dulu,” ajaknya kemudian. Saya lekas mengemas tripod dan memasukkan kamera ke tas.

Di teras rumah Saleh, telah terhidang sepiring donat. Suhar kemudian muncul dari dalam rumah membawa dua gelas kopi susu panas.
“Pak, Bu, ayo kita foto keluarga dulu, hehe,” cetus saya seusai melahap habis dua biji donat. “Ayo, ayo!” sambut Saleh bersemangat. Sungguh, suguhan pagi yang lebih dari sekadar membuat perut kenyang. (*)
Foto sampul: deretan rumah panggung berlatar perbukitan di kampung nelayan di Desa Poto Tano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat
berarti aku dipanggil Najin :)))
Suka gaya bertutur Rifky dalam menulis. simple but ‘something’.
LikeLiked by 1 person
Bu Najin heuheu. Maturnuwun mbak! 🙂
LikeLike
Kenawa… Tau pulau ini pertamakali pas baca tulisan mba febby dr jalan2liburan. Lgs suka ngebayangin pondpknya yg lgs mnghadap laut :). Tp dnger2 per malamnya mahal yaa. Dipikir2 sih worth it sbnrnya.. Kapan lg tidur ditemani suara ombak begitu depan mata ya mas 🙂
LikeLiked by 1 person
Hmmm, saya luruskan dulu hehe. Ini Pulau Kenawa yang ada di Sumbawa, NTB. Kalau Pulau Kanawa, itu di Flores, Taman Nasional Komodo yang ada pondoknya dan memang mahal hehe. Ada Kenawa, ada Kanawa.
LikeLike
Loh loh, uda d Poto Tano aja bang, mantap!
LikeLiked by 1 person
Cerita lama, haha
LikeLike
wah tempat yg sunyi, aku pastinya suka dan bisa banyak puisi aku buat, i
LikeLiked by 1 person
Wah menarik pasti bisa bikin puisi 🙂
LikeLike
asyik kalau bisa bersua dengan penduduk sekitar itu ya..kita kadi lebih tahu daerah setempat serta budayanya, pingin
LikeLiked by 1 person
Iya mas, tapi saya kurang lama di sini hahaha.
LikeLike
Kalau pemanggilan nama anak sulung laki-laki pada bapak itu wajar mas. Hampir semua tempat seperti itu, bahkan di tempatku juga sama.
Kurang lama di sana kamu mas ahhahahha
LikeLiked by 1 person
Saya pikir tjdak di semua tempat, di lingkungan keluarga besarku tidak begitu. Hehe. Iya memang kurang lama di sini, soalnya dikejar waktu
LikeLike
Poto Tano. Pelabuhan yang sejak kecil seringkali ku lewati saat ikut Mama Papa pulang ke rumah Kakek di Rato, Sila, Bima. Nama pelabuhan ini mengingatkan tentang perjalanan terakhir pulang kampung mengantar almarhum Kakek ke peristirahatan terakhirnya. Rasanya … senang sekali bisa menikmati cerita Mas tentang Poto Tano ini. Semoga lain waktu aku dan si partner bisa menikmatinya juga.
LikeLiked by 1 person
Mengharukan, Kak, Poto Tano jadi bagian yang terkenang ya. Terima kasih, Kak, semoga 🙂
LikeLike
Berarti kalau aku orang Sumbawa, aku dipanggil Damar ya? Hehehe. Orang-orang di sana sangat bersahabat ya, Mas.
LikeLiked by 1 person
Hahaha, iya Mas. Iya Mas, terbuka sama wisatawan 🙂
LikeLike
Aku suka tulisanmu ini Qy, cara bertuturnya dan juga tidak terlalu panjang. Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan membaca cerita panjang. Dan juga, fotomu istimewa
LikeLiked by 1 person
Terima kasih, mas. Semoga bisa konsisten menghadirkan tulisan yang diterima berbagai kalangan haha
LikeLiked by 1 person
Ah, aku belum menjejak Nusa Tenggara sama sekali. Semoga tahun 2018.
Btw unik ya, bukannya anak yang ngikut nama bapak, ini bapak ngikut nama anaknya haha.
LikeLiked by 1 person
Amiiin mas! Iya, saya juga sempat kaget haha
LikeLike