Sejumlah pendaki menyebutnya bagian kepala dari Pegunungan Putri Tidur. Dari Kota Malang, memang tampak seperti sosok perempuan yang terlelap dengan tangan bersedekap.
Pegunungan Putri Tidur ini menjulang di tiga wilayah: Blitar, Malang, dan Batu. Gunung Kawi di bagian kepala serta dada. Lalu Panderman di bagian kaki. Pemandangannya hampir setiap hari terlihat dari depan kos saya, di pinggiran barat daya kota Malang. Saat senja, siluetnya tampak gagah. Tubuhnya kadang berefleksi pada hamparan sawah yang belum ditanami padi.
Selepas penat rutinitas tugas akhir kuliah beberapa waktu lalu, saya bersama ketiga teman melakukan pendakian ke Gunung Butak. Merayakan kelulusan.
Karena jarak yang panjang dari basecamp ke tempat berkemah, kami memutuskan untuk mendaki selama 3 hari 2 malam. Pergi-pulang. Jarak yang cukup panjang dari basecamp menuju tempat berkemah, membuat kami memilih berlama-lama di gunung.
Kami mendaki pergi-pulang dari titik yang sama, Dusun Toyomerto, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Basecamp tempat perizinan jadi satu pengelolaan dengan pendakian Gunung Panderman. Kami menitipkan sepeda motor di sana.

Jalan Panjang Menuju Sendang
Ji! Ro! Lu! Budal! Begitulah jargon kami sebelum memulai perjalanan. Mengingatkan kekompakan dan semangat. Sekitar pukul 06.00, kami mulai mendaki. Trek awal berupa paving yang putus di percabangan. Sekitar 50 meter dari basecamp. Beberapa pendaki belok kiri, menuju Gunung Panderman. Sementara kami lurus menuju Butak. Menapaki makadam bercampur tanah.
Vegetasi awal berupa pinus dan perkebunan warga. Rumput gajah juga banyak ditemui. Sejumlah penduduk setempat kerap terlihat mengangkut rumput dengan motornya.

Sejam berjalan, kami mulai memasuki pintu hutan. Trek perlahan berubah menanjak membelah tanaman semak. Tanjakan ini biasa disebut “tanjakan asu” oleh sebagian pendaki. Saking panjang dan terjalnya, ditambah debu yang tebal karena musim kemarau saat itu. Membuat napas sesak dan memburu.
Tanjakan berdebu itu akhirnya menemui ujung. Sekitar pukul 09.30, kami menyusuri trek datar di dalam hutan tropis yang panjang. Terik matahari nyaris tak tembus karena kanopi yang cukup rapat. Embun bahkan masih terlihat di pohon-pohon lumut. Bunga senggani yang berwarna ungu kerap terlihat dan tumbuh rendah di atas tanah.

Sesekali kami harus menunduk atau memanjat melewati pohon tumbang. Kami juga harus fokus memperhatikan beberapa petunjuk jalur yang diikat di pohon. Biasanya berupa kain, tali, atau panah dari plat seng.
Melewati hutan yang basah seperti ini, membuat kami lupa penat di kota. Merasakan lembabnya rimba, duduk beralas tanah penuh seresah. Berpegangan pada ranting dan akar yang legam. Rela berpeluh menapaki langkah demi langkah.
Dua jam kemudian, kami keluar dari hutan tropis. Vegetasi berganti dengan cemara gunung menjulang. Kawasan ini disebut Cemoro Kandang. Trek kembali menanjak. Jejak kebakaran akibat kemarau masih tampak di batang dan tanah yang gosong.
“Sebentar lagi sabana, rek,” ucap saya kepada teman-teman. Saya mengatakan itu ketika kami melipir punggungan bukit Sukmo Ilang yang cukup ekstrem. Sebelah kanan kami jurang dalam. Masih di kawasan Cemoro Kandang.

Tempat yang kami tuju untuk berkemah akhirnya terlihat setelah berjalan hampir delapan jam. Pohon edelweiss setinggi dada bak pintu masuk menuju hamparan sabana yang luas. Karena saat itu puncak musim kemarau, sebagian rerumputan menguning.
Kami terus berjalan mendekati sendang (sumber air). Penduduk di kawasan religi Gunung Kawi menyebutnya Telogo Cahyo. Satu dari banyak mata air di kawasan gunung ini yang mengalir sepanjang tahun. Tepat di sampingnya, kami mendirikan tenda. Bergegas menyiapkan makan malam dan istirahat.

Kami juga menyebutnya sabana Sendang. Mengingatkan saya pada sabana di beberapa gunung, seperti di Semeru, Lawu, atau Merbabu. Bahkan ada yang menyebutnya Argopuro mini.
Suasananya tenang, karena tidak banyak pendaki sore itu. Namun, karena sangat terbuka, embusan angin sangat terasa menusuk kulit. Sesekali terdengar seperti gemuruh, karena gesekan ranting pepohonan.
Dua Kali Melihat Rona Pagi
Keuntungan berkemah selama dua malam di Butak adalah bisa pergi ke puncak beberapa kali. Terutama untuk melihat matahari terbit. Dua kali, di hari kedua dan ketiga. Kami melihat rupa pagi yang berbeda. Dua kali pula, kami rela naik-turun puncak demi melihat rilis fajar.
Kami berjalan menuju puncak usai salat Subuh. Pendakian ke titik tertinggi Butak (2.868 mdpl) ditempuh sekitar 30-45 menit.

Trek awal masih datar di tengah sabana. Di tengah perjalanan, terdapat plakat penunjuk arah ke puncak. Melewati edelweiss setinggi kepala, lalu memasuki hutan cemara gunung yang cukup rapat.
Jalan setapak kemudian menanjak terjal dan sempit. Ketika vegetasi terbuka, kami harus berhati-hati. Terutama saat turun. Cukup banyak pijakan dari batu-batu yang labil.

Puncak tertinggi dari Pegunungan Putri Tidur berupa dataran yang memanjang Jika berjalan terus ke arah selatan, akan bertemu jalur dari kebun the Sirahkencong, Blitar. Selain itu, Gunung Butak juga dapat dicapai dari jalur kawasan religi Wonosari dan Princi, Malang.
Saat muncak di hari kedua, pemandangan agak berkabut meskipun masih terpancar sinar matahari yang keemasan. Di hari terakhir, cuaca lebih cerah. Panorama lebih jelas.

Di timur laut, Gunung Arjuno dan Welirang, bagaikan kembar siam yang mengapit Gunung Kembar I dan II. Di sisi timur, kami melihat siluet Pegunungan Tengger Purba yang panjang. Gunung Semeru mengekornya, dengan kepulan asap beracun yang sesekali melayang ke langit. Sementara di barat, terlihat Gunung Kelud yang lancip.
Dua kali melihat suasana pagi dari atas puncak sejatinya memberatkan langkah kami untuk turun dan pulang. Meninggalkan Butak, sang putri yang tidur. (*)

Xpress Direction
- Karena jarak tempuh basecamp-sabana cukup panjang, disarankan mendaki 3 hari 2 malam
- Untuk meringankan beban, cukup membawa stok air sebotol 600 ml untuk minum selama trekking saja. Sendang di sabana sangat melimpah dan mengalir sepanjang tahun.
Tulisan ini dimuat dalam rubrik Adventure, Xpress Air inflight magazine edisi September-Oktober 2018
Foto sampul:
Pemandangan dari puncak Gunung Butak
wow menarik sekali itu bisa bolak balik ke puncak dengan view se-amazing itu. Pas banget juga ya selalu dapat pagi yang keren.
btw apakah ini yang keliatan dari depan kosmu itu?
LikeLiked by 1 person
Enak kalau ke sini pas bukan akhir pekan. Sepi.
Iya, yang kelihatan dari kos 😊
LikeLike
Kenapa ya di gunung banyak tempat bernama cemoro kandang? Apakah itu dikarenakan dia berupa kandang cemoro? *halah
Terima kasih sudah berkisah, Q 🙂
LikeLiked by 1 person
Hahaha. Iya. Dinamakan demikian karena ya betul ‘kandang’ cemara. Artinya, di situ kawasan/habitat utama bergerombol atau tumbuhnya vegetasi cemara.
Sama-sama Mbak Sha 🙂
LikeLike
Nah iya, hampir setiap gunung yang aku tahu pasti punya daerah bernama cemoro kandang.
LikeLiked by 1 person
Iya, ya karena vegetasi cemara gunung.
LikeLike
Adu gusti pingin…
Kalau pun nanjak lagi, pingin ngejak Najin. Nggak usah muncak, cukup ngenalin dia ngajak gunung perlahan dan camping.
Ayahku pernah nang gunung kawi karena penasaran. Onok opo nang kunu. Trus lihat kampung2 itu. Dan cerito e asyik sekaligus bikin merinding. Kata teman, bisa wisata juga, nggak selalu pesugihan.
LikeLiked by 1 person
Hehehe, iya Mbak. Gak perlu yang berat-berat dulu. Kenalkan pada hutan, sungai, bukit-bukit saja dulu. Di Malang banyak kok. Relatif dekat sama Gresik kan? 🙂
Sebenarnya pesugihan itu gak terlalu mencolok kok Mbak. Mereka itu ya murni lelaku karena kepercayaan. Kejawen, misalnya. Karena memang di sana ada makam ulama.
LikeLike
Aduh, viewnya nggak kuat.. ajakin mendaki juga dong mas Q 😀
LikeLiked by 1 person
Haha, ayo! Kapan, ke mana? Hehe.
LikeLike
Terus kapan aku diculik mendaki bareng, Oom?
Selamat ya, dimuat di majalah lagi… Hormat grak!!
Salam.
LikeLiked by 1 person
Kapan, Om? Jangan sibuk-sibuk ya hahaha. Terima kasih 🙂
LikeLiked by 1 person
Enaknya kalau ngecamp lebih dari semalem, bisa pilih-pilih waktu muncak terbaik. Kalau sekarang kabut, ya udah besok.
Tapi jadi penasaran, seharian sambil menunggu puncak di hari berikutnya, kamu ngapain aja, Rif? Wkwkwkwk
LikeLiked by 1 person
Hehehe, iya. Yo foto-foto, masak, leyeh-leyeh. Slow banget pokoke hahaha.
LikeLiked by 1 person
Kayaknya menarik mas buat mendaki ke sana. Sepertinya aku kudu ikut kamu mendaki di waktu mendatang.
LikeLiked by 1 person
Ayolah, kapan gitu ke mana.
LikeLike
3 hari dua malam, dua kali sunrise, awesome! Itu edelweissnya gede-gede ya. Oia, saya suka sekali foto sunset yang kedua (Pemandangan Gunung Arjuno-Welirang berselubung kabut) dan foto tenda kalian yang warna kuning itu! 😀
LikeLiked by 1 person
Kalau gede sih enggak, tapi tinggi. Hehe.
Tepatnya sunrise kak Tuteh, 😊
LikeLike
Owalah, maksudnya sunrise, ketulis sunset, atau memang maksud saya begitu :p qiqiqiqiq.
LikeLiked by 1 person
keren juga da Edelweis di Butak
LikeLiked by 1 person
Bangeeet 🙂
LikeLike
saya juga pernah ke gunung ini lumayan juga trekingnya
LikeLiked by 1 person
Iya, tapi seru hehe
LikeLike
untuk sampai ke puncak memang butuh perjuangan keras .. tapi terbayarkan dengan keindahannya .. apalagi foto2 di pagi hari .. juara deh
LikeLiked by 1 person
Rasa capek hilang hehe
LikeLike
aku selalu senang kalo baca postingan tentang mendaki gunung
pelajaran yang didapat jauh lebih banyak dari apa yang bisa ditulis
yes?
LikeLiked by 1 person
Setiap perjalanan, di mana pun, punya hikmahnya masing-masing 🙂
LikeLike
2x sunrise,, asik banget.. apalagi sepi ya itu, ngga kaya pasar :V …
sunrise di gunung selalu menyihir, sayang sampai saat ini hanya bisa liat foto2 orang aja, blm pernah liat langsung (kecuali bromo, dan itu pun tertutup kabut -____-)
-Traveler Paruh Waktu
LikeLiked by 1 person
Iya hahaha. Kalau pas rame-rame kayak weekend ya sama aja kayak pasar. Semoga bisa kesampaian nyunrise dari gunung ya 🙂
LikeLike
aku fokus sama foto sunrise “Pemandangan Gunung Arjuno-Welirang berselubung kabut” apikk hehe..
Kayanya seru nanjak gunung Butak,,,apalagi sumber airnya melimpah..hehe
Track nanjak yg berasa cuma di Tanjakan Asu mas?.. atau Tanjakan Asu cuma salah satunya?
LikeLiked by 1 person
Heheheh. Iya seru banget! Asalkan persiapannya matang 🙂
Salah satunya Tanjakan Asu memang kerasa banget haha. Satu lagi tanjakan di hutan cemaranya sebelum sabana hehe.
LikeLike
Sudah lama saya nggak mampir ke blog ini, selalu senang melihat foto-foto sampean. Terlebih cara sampean dalam menyampaikan cerita.
Menjejak Buthak memang paling “enak”. Vegetasi hutan yang masih lumayan rapat, tanjakan yang cukup membuat saya “mbatin” tiap kali mendaki Buthak, terlebih saat memasuki musim penghujan seperti ini.
Lanjut terus sam!
LikeLiked by 1 person
Terima kasih mas, atas apresiasinya. Mudah-mudahan bisa nanjak bareng hahaha.
Ya begitulah, relatif bersahabat sebenarnya, asalkan persiapan memadai.
LikeLike
Selalu keren tulisan dan foto2nya. Sukses selalu mas
LikeLike