
“Ibu mulai merintis usaha sejak 1988,” kata Dwi.
Awalnya Hj. Suryani (58 tahun) berjualan aneka masakan berbahan baku ayam seperti garang asem, ayam bumbu rujak, dan ayam panggang. Keliling dari desa ke desa dengan sepeda onthel. Delapan tahun kemudian, ia memberanikan diri membuka usaha kuliner ayam panggang secara menetap di rumah peninggalan neneknya.
Resep utama ayam panggang di terletak pada dua hal, yaitu bahan baku ayam kampung Jawa dan proses pemanggangannya. “Ibu sendiri yang milih ayamnya langsung di pedagang langganan beliau,” ujar Dwi.
Kemudian ayam dipanggang sebanyak tiga kali. Pertama, dalam keadaan mentah dan diberi bumbu dasar. Kedua, ditambahkan bumbu sesuai pesanan, antara bumbu rujak, bawang, atau lodho, lalu dipanggang kembali selama maksimal 4-5 menit. Selama proses pemanggangan di atas tungku tanah liat selama 30 menit tersebut, ayam sama sekali tak bersentuhan dengan api. Hasilnya, tekstur ayam tetap lembut dan tidak gosong.
Harga per porsi tergantung ukuran, mulai yang termurah Rp 70.000 sampai paling besar Rp 120.000 (tahun 2018). Seporsi ayam panggang umumnya dilengkapi dengan sebakul nasi lengkap lalapan dan sayur urap yang bisa dikonsumsi 3-4 orang.

Lambat laun, kelezatan ayam panggang racikan Hj. Suryani tersebar harum dari mulut ke mulut. Kini, depot lesehan yang menyatu dengan rumahnya sanggup menjual minimal 120 ekor di hari biasa. Saat akhir pekan, meningkat dua kali lipat.
“Puncaknya waktu musim liburan kayak Idulfitri, bisa seribu ekor per hari,” lanjut Dwi.
Candu pegiat kuliner ayam panggang di Desa Gandu yang dirintis Hj. Suryani rupanya membawa berkah bagi tetangganya. Lebih dari 20 kedai di satu dusun tersebut kerap kelimpahan pengunjung yang tidak tertampung di tempatnya. (*)
Ayam Panggang Miroso Bu Hj. Mina Suryani
Desa Gandu, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur
Jam buka: 07.00-21.30, setiap hari
Aduh baca ini jadi lapar, dan lihat foto ayamnya jadi ngiler. Bumbu lodho itu jadi rasanya pedas ya? Kalau bumbu rujak apakah cenderung manis? Bumbu bawang saya malah ngebayanginnya kayak Sambel Bawang Bu Rudy (duh, ngeces lagi).
LikeLiked by 1 person
Saya belum mencoba yang lodho. Tapi kalau patokannya lodho ala Trenggalek atau Tulungagung, maka cenderung pedas. Bumbu rujak ada pedasnya juga, Mas Bama. Paling enak kalau lidah saya ya bawang atau rujak 😀
Makasih, Mas, sudah mampir di sini 🙂
LikeLiked by 1 person
kalo dipikir-pikir udah lama banget aku nggak makan ayam panggang. ndelok fotone jan dadi ngiler au
LikeLiked by 1 person
Luwe yo? Podo, sing nulis ae luwe bolak-balik hahahaha
LikeLiked by 1 person
Keren! Jadi bagi-bagi rejeki ke tetangga gitu ya. Ngomong-ngomong kalau hari biasa aja bisa sampai 120-an dan pas puncak ramai sampai seribuan, gak kebayang tempatnya akan sepadat apa. Apakah tempatnya juga luas, Mas?
LikeLiked by 1 person
Halo, Kak. Iya, betul, bisa ramai sekali saat musim liburan. Tempatnya luas, kok. Silakan dicoba 😀
LikeLike
Karena penasaran, tadi cari fotonya di Google. Kayaknya makan di sana serasa makan di rumah sendiri ya. Wkwk
LikeLiked by 1 person
Iya, hahaha! Karena memang asalnya usaha rumahan dan bertahan sampai sekarang. Definisi Work From Home 😀
LikeLike
jadi penasaran pengen nyobain. Ayam kampung memang rasanya josss …. apalagi jika pakai resep rahasia cara ngolahnya. btw … Magetan … jarang banget terdengar ya …. tapi saya suka kota2 kecil seperti ini
LikeLiked by 1 person
Monggo ke sini buat nyobain, pasti nagih! Hehehe.
Magetan biasanya terkenal dengan Telaga Sarangan, Gunung Lawu, dan Lapangan Udara milter Iswahyudi.
LikeLike
Waduh, kang. Bikin ngiler.
Membaca proses pembakarannya, ini ayam bakar pasti maknyuss. Ditambah lagi ayamnya ayam kampung. Cita rasa daging ayam kampung memang beda. Mantab.
LikeLiked by 1 person
Mantap, saya juga terngiang-ngiang laparnya, Mas 😀
LikeLike
Dipanggang tiga kali? Wah, rasanya pasti mantap. 😀
LikeLiked by 1 person
Jelas, Mas. Hahaha.
LikeLike